BORNEOKU.CO TANJUNG SELOR—Persoalan penguasaan tanah di Indonesia bukanlah hal baru. Sejak era kolonial Belanda, tanah telah menjadi obyek perebutan kekuasaan dan sumber eksploitasi ekonomi. Sistem tanam paksa (cultuurstelsel) di masa kolonial menjadikan tanah sebagai komoditas yang dikuasai oleh penguasa, sementara rakyat pribumi kehilangan akses terhadap tanah sebagai sumber kehidupan. Sampai hari ini, bayang-bayang sistem tersebut masih tampak dalam kebijakan agraria yang selektif dan diskriminatif.
Kedaulatan rakyat atas tanah seharusnya menjadi landasan utama dalam kebijakan agraria di Indonesia. Ini bukan hanya soal kepemilikan sertifikat, tetapi soal bagaimana tanah tersebut bisa menjadi pondasi kehidupan yang berkelanjutan bagi masyarakat lokal. Ketika negara lebih mengedepankan kepentingan investor dan pembangunan infrastruktur besar tanpa mengindahkan hak adat dan kearifan lokal, maka demokrasi pun mengalami krisis.
Rakyat telah lama menjadi korban dari penguasan tanah yang tidak adil, yang berujung pada hilangnya penghidupan, perusakan lingkungan, hingga penghancuran budaya lokal. Hak rakyat atas tanah tak sekadar soal juridis, tapi juga soal keberlanjutan sosial dan ekologi yang harus dijaga dalam bingkai keadilan dan kemanusiaan.
Kasus penggusuran dan perampasan tanah yang terjadi di kawasan IKN Nusantara merupakan contoh nyata tragedi agraria yang tengah berlangsung. Warga di Kecamatan Sepaku dan sekitarnya yang telah mengelola tanah secara turun-temurun kini menghadapi ancaman kehilangan sumber penghidupan mereka.
Dampak sosial dari perampasan ini sangat besar: masyarakat kehilangan akses terhadap pangan dan mata pencaharian, terjadi dislokasi sosial, dan trauma psikologis akibat penggusuran paksa. Tak jarang, mereka yang terdampak harus menerima kompensasi yang jauh di bawah nilai tanah, atau bahkan tidak mendapat kompensasi sama sekali karena dianggap tidak punya bukti kepemilikan formal. Hal ini memperlihatkan ketimpangan perlakuan antara warga biasa dengan korporasi besar yang sering mendapat perlakuan istimewa.
Selain aspek sosial, dampak lingkungan juga harus menjadi perhatian serius. Pembangunan IKN yang masif jika tidak diikuti dengan kajian dampak lingkungan yang komprehensif akan berpotensi memperparah kerusakan ekologis, termasuk hilangnya hutan, gangguan habitat satwa, dan perubahan tata air yang membawa risiko banjir dan kekeringan.
Idealnya, negara hadir sebagai pelindung hak-hak rakyat, termasuk hak atas tanah mereka. Konstitusi Indonesia, terutama Pasal 28H UUD 1945, memberikan perlindungan hak milik dan hak atas tanah. Namun, ketika negara membiarkan atau bahkan mendorong perampasan tanah secara sepihak menggunakan instrumen hukum yang dipersiapkan secara terburu-buru—seperti dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021—maka negara justru menjadi pelaku penindasan yang mengkhianati janjinya sendiri.
Kerangka hukum yang ada harus dipahami dengan baik, tidak diputarbalikkan untuk memenuhi kepentingan politik atau ekonomi sempit. Hak atas tanah bukan sesuatu yang bisa diputuskan secara sepihak tanpa memperhatikan konteks sosial budaya masyarakat yang mengelola tanah tersebut. Negara harus memastikan bahwa setiap kebijakan agraria berlandaskan prinsip keadilan sosial, perlindungan hak adat, dan penghormatan terhadap kearifan Lokal.
Untuk keluar dari dilema ini, reformasi agraria yang sejati menjadi sebuah keniscayaan. Reformasi agraria bukan hanya soal redistribusi tanah, tetapi juga soal pengakuan hak-hak masyarakat adat dan petani kecil secara menyeluruh, peningkatan akses terhadap sumber daya produksi, serta jaminan legal yang kuat untuk mencegah perampasan tanah.
Kebijakan agraria harus lebih berpihak kepada rakyat kecil yang selama ini menjadi korban ketidakadilan, bukan hanya memberikan sertifikat tanpa pengakuan nyata atas hak dan keberlangsungan hidup mereka. Sistem hukum agraria harus diperkuat agar benar-benar mampu melindungi hak rakyat atas tanah dari klaim-klaim sepihak baik dari negara maupun korporasi.
Negara perlu mengakui dan melindungi hak-hak masyarakat adat yang selama ini hidup berdampingan dengan alam secara harmonis. Ini termasuk pemberian sertifikat hak atas tanah adat yang diatur secara jelas dalam hukum.
Membangun mekanisme penyelesaian sengketa agraria yang independen, transparan, dan melibatkan partisipasi aktif masyarakat terdampak.
Melakukan audit dan revisi terhadap konsesi besar yang belum dimanfaatkan secara produktif serta merusak lingkungan, dan memastikan hak rakyat di atas lahan tersebut dilindungi.
Memperkuat payung hukum yang melindungi pemilik tanah dari pencabutan hak tanpa proses yang adil dan transparan, termasuk memberikan akses bantuan hukum bagi rakyat miskin.
Membangun pembangunan nasional tidak boleh mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Pembangunan yang inklusif harus mampu mengakomodasi berbagai kepentingan tanpa merugikan kelompok masyarakat marginal, terutama petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Pemerintah hendaknya lebih aktif dialog dengan masyarakat, mendengarkan suara mereka dalam perencanaan pembangunan. Jika pemanfaatan tanah dianggap penting bagi pembangunan, negara harus memastikan bahwa warga terdampak memperoleh kompensasi yang layak, serta solusi pengganti yang sesuai, bukan sekadar mengusir atau mengambil alih lahan secara paksa.
Selain itu, pembangunan yang dilakukan harus mengusung prinsip keberlanjutan dan berbasis kearifan lokal, agar tidak merusak ekosistem maupun mengancam nilai-nilai budaya yang melekat pada masyarakat pengelola tanah.
Memasuki usia kemerdekaan yang ke-80, Indonesia dihadapkan pada pilihan kritis apakah akan melanjutkan praktik lama yang menempatkan rakyat sebagai objek atau menjadi negara yang benar-benar melindungi hak-hak rakyatnya sebagai subjek utama kedaulatan.
Merdeka sejati adalah merdeka dari segala bentuk penjajahan, baik eksplicit oleh bangsa lain maupun implisit oleh kekuasaan dan kapital. Negara harus kembali ke jati diri sebagai pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa yang menindas. Hak atas tanah adalah bagian dari kehormatan hidup manusia dan bangsa.
Oleh karena itu, setiap elemen masyarakat perlu mengawal proses reformasi agraria dan kebijakan pembangunan agar berpihak pada rakyat banyak. Bersama-sama, mari kita dorong negara untuk menghormati hak rakyat, melindungi tanah sebagai sumber kehidupan, dan mewujudkan keadilan agraria yang sesungguhnya.
Diharapkan pembaca dapat memahami lebih dalam kompleksitas persoalan agraria di Indonesia dan merenungkan bagaimana negara dan rakyat dapat bersinergi membangun masa depan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Semoga Indonesia menuju usia yang semakin matang dapat menunjukkan kemerdekaan yang sejati — kemerdekaan dari ketidakadilan dan penindasan.
Penulis: I Made Wahyu Rahadia